***
Ditengah kota ada jiwa rapuh yang berusaha sembuh. Berkelahi dengan waktu tanpa lelah melawan pedih. Bukan tak mampu sembuh, waktu saja yang tak tahu caranya menyembuhkan. Ia terus berganti hari,pekan,bulan bahkan tahun namun tak pernah benar-benar menggantikan lara dengan tawa. Aku tak menyalahkannya, aku hanya tak tahu kenapa ia begitu tega memenjarakan ku pada ruang kehancuran.
Aku terus berusaha bangkit dari keterpurukan. Disaat yang sama ku dengar dari pelosok desa ada rintihan tangis suara minor. Meraung kesakitan dipasung derita. Penguasa merebut tawa mereka, senyum lugu tanpa dosa luntur dari raga yang sudah tak kuat melangkah. Rupanya ada hati yang sakitnya jauh lebih pedih, rupanya ada raga yang lebih kehilangan jiwa. Tuhan bukan tak ingin menolong, Ia ingin aku menolong mereka.
Lantas bagaimana jiwa yang juga rapuh ini sanggup mengobati kerapuhan mereka? Bagaimana mungkin hati yang patah ini sanggup menopang hati yang juga sangat rapuh disana? Bagaimana mungkin aku mengobati sakit mereka saat aku juga bahkan sekarat setiap detik?
Aku termenung menimbang rasa, antara harus peduli atau bodoh amat.
Aku terlampau jauh merasa paling menderita hingga berpikir dua kali menolong mereka yang juga sangat merana. Dengan begitu egois ku katakan setiap orang lahir dengan penderitaannya, setiap manusia hidup dengan kesengsaraannya masing-masing, biarlah mereka berjuang bangkit sendiri. Sementara tangisan itu semakin keras saat aku terus saja berpikir. Ku yakinkan diri, mungkin dengan kesana sakit yang terus ku rawat akan sembuh dalam perjalanan.
**
Pagi itu, aku bangun lebih awal. Mempersiapkan diri menyambut perjalanan panjang yang akan kulalui pagi itu. Aku tak tahu kenapa rasanya berat pergi, hati seolah tahu ada musibah yang menanti ditengah perjalanan. Hati seolah tahu maut ikut bersamaku.
Perjalanan panjang ku mulai dengan doa, aku tak meminta banyak, aku hanya ingin kembali setelah suara tangis itu ku gantikan dengan tawa. Setelahnya ku bayangkan wajah ibu, ku tahu setiap langkahku diiringi doanya. Tak lupa juga membayangkan luka yang bersemayam dalam Sukma, ku tahu senyumku tak mampu menghapusnya. Aku mengajaknya pulih, hati sudah lelah memikulnya.
Aku tak meminta maut menemaniku, dia saja yang mengikutiku. Motor yang ku kendarai kehilangan keseimbangan, tikungan tajam diapit jurang yang dalam tak mampu ditaklukan, dalam hitungan detik kami meluncur kedalam jurang. Tuhan aku kembali, maafkan segala kurang rasa terima kasihku, aku pulang.
Tabrakan keras, tubuhku menghantam sepotong kayu kering ditengah tebing, kepalaku pusing,napasku serasa sesak tak beraturan, telingaku berusaha mendengar suara samar yang menjerit dibawah jurang, rupanya temanku. Namun apa daya tubuh tak kuat menolongnya, berdiripun aku tak sanggup. Dengan napas terengah-engah ku pasrahkan hidupku, terlintas wajah samar ibu, adikku, sahabat-sahabatku dan tentunya perempuan yang sangat kucintai setelah ibu. Ingin rasanya ku menangis, bagaimana mungkin aku pulang tanpa pamit. Bagaimana mungkin ibu sanggup menerima ragaku pulang terbaring kaku tanpa jiwa. Bagaimana mungkin rumah menerimaku pulang tanpa nyawa.
Aku berusaha mengatur napasku, ku dengar diatas sana ada suara berteriak, rupanya Tuhan mengirimkan orang baik kepadaku. Ku lambaikan tangan yang lemah meminta tolong. Ia terlihat bingung bagaimana caranya menolong, bagaimana caranya turun ke jurang itu. Lagi-lagi Tuhan mengirimkan orang baik lainnya, kali ini mereka lebih banyak dengan peralatan yang lebih lengkap. Dengan sigap mereka telah sampai kebawah dengan sepotong tali melingkar di pinggang, lalu menyodorkan tangan menawarkan bantuan.
Kami terselamatkan walau terselip sedikit trauma. Tuhan menyelamatkanku dari maut saat ku tahu bagaimana menyelamatkan diri dari luka batin yang terus berdarah setiap harinya. Kini doaku bukan lagi tentang "iya,tunggu dulu atau tidak", biarlah semua itu berubah "jadilah padaku apa yang Kau anggap baik Tuhan". Sampai maut berhasil ku kalahkan rasa sakit ini masih milikku, aku hanya menyembunyikannya lebih rapi, tak lagi meminta. Biarlah proses dalam waktu menyembuhkannya. Entah itu kapan tak ada yang tahu.
Soe, Sabtu 6 Juni 2020
0 Comments