Advertisement

Responsive Advertisement

Perjalanan Menghapus Luka - April Bulan Pertama



"Penghujung Maret menuju April Bulan Pertama"
Jika kegagalan itu sesuatu yang sangat dinginkan, mungkin kegagalan ini adalah inginku yang sangat
......



Tak pernah ku bayangkan takdir terlalu cepat membawamu pergi, hingga menghantarkan kita pada akhir yang memilukan. Cerita yang sudah terjalin begitu indahnya pudar seketika lantaran restu orang tua.
Peristiwa di penghujung maret meluluhlantakan segala pertahanan yang sudah kita susun begitu kuat. Cinta, kepercayaan, dan komitmen menyerah pada pasrah, waktu tak memberikan kesempatan untuk sekedar bernegosiasi perihal hasrat hidup bersama. Rencana tinggal rencana, keputusan sudah dijatuhkan ketika pilihan tidak berpihak kita. Kamu yang teguh pada pendirianmu tak memberikan sedikit kesempatan pada kisah kita yang menolak jeda. Sementara aku yang masih ngotot tak bisa bisa berbuat banyak, lemah tiada pilihan.

Waktu yang selama ini ku bagi bersama setumpuk jurnal dan buku-buku akuntansi, harus ku jeda lantaran fokusku hilang direnggut pilu, sepertiga malamku, kuhabiskan bersama rembulan dan bintang-bintang hingga mentari mengusir mereka perlahan dari langit gelap. Semua tentang kita yang tidak bisa terselamatkan ku bungkus rapi dalam seikat harap yang kirimkan lewat doa kepada Dia, sang sutradara kehidupan.
Penghujung Maret yang berat membawaku pada April yang menyeramkan

...........

Segalanya musnah tanpa kompromi, bak bangunan yang runtuh kala longsor. Fondasi yang tersusun dari campuran kesetiaan dan kepercayaan membentuk bangunan bernama harapan kini hilang ditelan bumi. Yang tersisa hanyalah puing-puing kenangan, yang apabila disusun akan membentuk wajahmu. Wajah yang menenangkan jiwa, dibalut dengan senyum yang menghanyutkan. Wajah yang ketika jenuh seketika berubah ceria kala melintasi pikiranku.

April, bulan kelabu ketika hidup harus terus berlanjut, dengan susah payah ku selesaikan tugas akhirku hingga menghantarkanku pada seminar proposal. Seminar yang dulu pernah kita rencanakan untuk saling menemani. Aku yang masih saja menolak lupa dengan tidak tahu malu memberikan undangan khusus kepadamu untuk tetap hadir walaupun kita bukanlah kita yang dulu. Mungkin aku terlihat begitu berlebihan dengan undangan itu, tapi aku hanya ingin melakukan sesuatu yang tidak biasa, karena aku tidak ingin dilupakan begitu saja,aku ingin tetap hidup lembaran kisahmu meskipun nanti bukan aku yang menjadi penyempurna kisahmu.

Saat kita mulai saling menjauh, saling menghindari nostalgia akibat terbawa perasaan di kolom chattingan,kita malah semakin dikalahkan oleh rasa yang teramat kuat. Tanpa sadar kita terjebak pada kebiasaan lama kita,canda yang berujung canggung lantaran kita yang asik berbalas pesan sejenak lupa bahwa kita yang dulu bukanlah yang sekarang, bahkan papan keyboard hpku pun gagal "move on", selalu ada namamu yang muncul kala assalamualaikum diketik dikolom komentar. Mungkin ia terbiasa memanggil namamu?ataukah ia juga telah mencintaimu?dasar keyboard hp😁
Untuk segala kecanggungan  ini, Kita pun tersadar hingga pesan dari salah satu kita berakhir dua centang biru tanpa balasan.

Aku mulai lelah bersahabat dengan kepura-puraanku, aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus mengakhiri penderitaan yang ku buat sendiri. Aku berlari menjauh dari kenyataan yang tidak bisa kuterima, rumah adalah pilihan terakhir untuk sejenak mengistirahatkan pikiran yang sedang tidak baik-baik saja.
Aku menghindari kota yang menjadi saksi dari perjalanan singkat kita, dengan harapan aku bisa jauh lebih menerima kenyataan setelah kembali. Hidup benar-benar mempermainkanku hingga babak belur. Aku tidak diberikan kesempatan untuk sekedar tersenyum manis penuh ketulusan, aku masih menampilkan senyum ku buat-buat. 

Untuk kesekian kalinya aku di kalahkan oleh kenangan. Seberapa jauh aku berlari, seberapa lama aku bersembunyi, aku hanya akan tetap menemukanmu disetiap detik waktu yang berlalu. Bagaimana tidak? Ada wajahmu yang tiba-tiba terlintas dalam ingatanku kala adzan berkumandang,ada senyummu yang menyapaku kala melintasi mesjid, ada cerita kita yang kembali hidup dalam pikiranku kala menginjakkan kaki dihalaman Gereja.
Sungguh hidup ini seperti tidak pernah puas mempermainkanku, ia menyiksaku bahkan ketika aku jauh darimu. Benar saat kehilanganmu aku bahkan telah kehilangan diriku sendiri.
Satu hal yang ku dapatkan dari pelarian ini adalah bahwa kenyataan tidak bisa dihindari, itu hanya akan menambah luka, aku harus kembali menghadapinya meski luka akan tergores lebih parah.

Akupun menyerah, kembali dengan keadaan yang sama saat pergi, masih mencintaimu, bahkan masih menginginkanmu.
Entah ini harus ku syukuri atau ku tangisi, yang jelas aku telah kalah untuk kesekian kalinya. Aku bahkan mungkin telah bersahabat dengan kegagalan. 

Post a Comment

0 Comments