Senja kembali membuka tirai kenangan. Menjingga di ufuk barat tiada enggan. Jingga kian menakjubkan di ujung lautan. Sendu perlahan merobek kalbu kala angin berbisik pelan, "dimanakah wanita pecinta senja itu?". Pertanyaan yang begitu dalam hingga menyayat hati tanpa ampun. Desiran ombak begitu riang, berlomba-lomba sampai tepian. Mungkin untuk menyaksikan hati yang sedang pupus atau sekedar hentikan lamunan?
Entahlah semua sulit dibedakan.
Wajah mungil itu perlahan mengkoyak batin. Menjadikan bait puisi tiada arti. Kini Jingga dilangit biru sekedar hiasan.Tanpa makna seperti kemarin. Mungkin yang sama telah pamit tanpa izin. Menyisakan tanya apakah ini takdir? Semoga takdir hanya sedang menyamar diantara realita yang menolak ekspektasi.
Kini senja selalu tanpamu, yang tertinggal hanyalah bayangan. Senja tak lagi bertuan, sejak kau putuskan pergi tanpa menoleh kemarin. Aku pasrah pada harap yang kian menjadi debu harian. Dibersihkan pun akan tetap ada, bukankah itu melelahkan? Untungnya aku sudah terbiasa lelah. Rutinitas yang kian jadi prioritas.
Menggapaimu kini hanya sebatas harapan, yang selalu menggema di sudut-sudut langit kala tangan terkatub mengemis restu Ilahi diseperempat malam. Lalu kembali bercerita bersama senja yang selalu datang hangatkan sendu.
Menghabiskan hari dengan melawan diri sendiri itu menakutkan. Kita hanya akan terus menderita karena sesuatu yang sendiri kita lakukan. Sekeras apapun otakmu mencoba menghapus segalanya, hatimu selalu dengan bodohnya kembali menulis satu nama. Menyeretmu kembali menjadi tawanan masa lalu. Lalu otakmu yang keras kepala mencoba menghancurkan hatimu yang begitu ceroboh hingga sendu hadir tanpa diundang. Begitulah siklus sakit hati, tidak disebabkan oleh siapapun, kita saja yang melakukannya tanpa sadar.
Langit jingga perlahan berganti hitam yang makin larut kian pekat. Senja pamit tanpa kembali menutup tirai kenangan yang sudah ia buka begitu lebar. Ombak mulai tenang, angin telah berhenti berbisik setelah berakhir tanpa jawaban. Mungkin ia sadar dengan ekspresi wajah kusut yang kutunjukan. Lautan mulai pasang dipenuhi air mata yang terus menetes sedari tadi.
Senjaku tak lagi tentang sepasang anak manusia, yang tersisa hanyalah puing-puing kenangan. Yang menyerah untuk disatukan, dalam album kehidupan masa depan. Ketika bulan bersinar bersama bintang. Matahari mengarungi langit sendirian. Tapi bukankah senja lebih menarik daripada malam?
Bukankah sendiri kita bebas berekspresi tanpa canggung? begitulah kehidupan kita tidak pernah diberikan kesempatan untuk memutuskan sesuai keinginan kita, kita hanya perlu menerima kenyataan, lalu kembali berbenah.
0 Comments