Suatu ketika di Mei 2019
.......
April yang menyeramkan menghantarkanku pada Mei yang suram, tidak ada yang spesial.
Kembali dari pelarian tak kunjung menyembuhkan luka yang tergores begitu dalam. Aku masih terseok-seok di dasar lautan luka yang kian menghanyutkan, hari-hariku dikelilingi dengan setumpuk buku, secangkir kopi hingga berbatang-batang rokok. Membosankan, sama sekali tidak berwarna. Aku tak lebih dari mayat yang hidup dalam keramaian orang-orang hidup. Mei, bulan yang membawaku hadir ke dunia yang kejam ini, kini aku bertemu dengannya lagi untuk ke-22 kalinya. Entah ini sebuah anugerah atau musibah bahkan tidak bisa ku bedakan.
Ulang tahun pertama tanpa ayah, ulang tahun pertama tanpa aku. Iya aku yang hilang entah kemana.
Jarum jam menunjukkan pukul 00:00 WITA, Kala sebuah pesan dari seseorang yang sangat spesial menerobos masuk ke dalam ponselku, rupanya sebuah ucapan selamat ulang tahun yang diawali dengan doa yang tulus, "semoga yang disemogakan jadi semoga-semoga yang senantiasa tersemogakan", entah ini harus ku syukuri atau ku tangisi, semua terlihat sama. Yang jelas ada air mata bahagia yang ceroboh jatuh membasahi layar ponselku, terima kasih untuk segalanya.
Setelahnya hari-hariku disibukan dengan membaca banyak ucapan selamat ulangtahun sampai senja menghantarkanku pada malam yang dingin. Semua terlihat biasa-biasa saja hingga kamu datang, sesuatu yang diluar dugaan, bagaimana mungkin kamu datang saat hari pertama puasa?ini benar-benar kejutan dan juga menimbulkan banyak pertanyaan dalam benakku, karena ku tahu akan sangat sulit mendapatkan ijin untuk kesini, tapi kamu mendapatkannya.
Kamu muncul dari balik gelap, bercahaya layaknya bidadariku yang pernah menaklukkan senja hingga semesta terkagum-kagum. Hatiku hancur berkeping tak karuan, entah harus menangis atau tertawa aku tak bisa berbuat banyak.
Aku tak tahu kenapa kamu datang setelah semua yang terjadi? Apakah ini hanya sebuah usaha balas Budi agar kamu bisa pergi tanpa merasa hutang Budi? Ataukah kamu menukarkan ijin bertemu denganku malam ini dengan kesepakatan perpisahan? Maafkan aku yang terlalu jahat hingga berpikir begitu jauh. Aku hanya takut jika dibalik datangmu ini, ada "selamat tinggal" yang kau sembunyikan dalam senyummu. Entahlah aku benci memikirkannya. Yang jelas aku bahagia bisa melihat senyum yang lama kurindukan, mata yang lama tak ku pandangi, wajah yang lama hilang dari hari-hariku.
Terima kasih untuk warna yang kau lukiskan begitu indah di bulan ini, setidaknya aku bisa kembali merasakan hidup yang benar-benar hidup, walau hanya sebentar.
Semua begitu cepat berlalu, melesat bagai peluru, malam semakin larut, pamit pun tak terhindarkan, untuk pertama kalinya setelah lalui bulan penuh luka, semesta memberikanku kado terindah, mengantarmu pulang. Aku merindukan masa ini, masa dimana kita pulang bersama, lewati jalanan tanpa bicara tapi saling memastikan kita baik-baik saja, kamu yang melirikku melalui spion motormu, sementara aku yang berada satu meter dibelakang terus mengikutimu sembari tak henti berdoa semoga kelak "ayok kakak antar" berubah menjadi "mari kita pulang". Iya semoga kelak kita sama-sama pulang kerumah yang sama.
Jalanan belasan kilometer pun tidak terasa, aku harus kehilanganmu di pertigaan jalan, kita berpisah. Aku kembali dengan senyuman terindahku, bahagiaku luar biasa. Malam yang indah.
Hari berganti, senyum semalam masih tak terganti, ada sisa bahagia yang tak ingin beranjak pergi, aku masih berkubang dalam euforia kemenanganku atas luka yang diciptakan sendiri.
Semua berjalan normal, komunikasi tetap terjaga meskipun tidak intens. Aku tidak masalah, aku tidak apa-apa tidak sedekat dulu, tidak apa-apa tidak sebanyak dulu pesan masuk darimu, kini satu saja pesan darimu itu akan sangat berarti bagiku.
Naas memasuki pertengahan bulan, semua kembali suram, kamu kembali menjadi sosok dingin yang menawarkan pertemanan, sementara aku masih terbakar api cinta yang membara menolak tawaran baik itu hingga kita berujung senyam. Tidak ada kabar meskipun rindu, tidak ada cerita meskipun banyak hal yang ingin terbagikan.
Berbeda dengan Kamu yang sudah terbiasa dengan semua ini meskipun menahan sakit tetap tersenyum bahagia, aku menjadi manusia bodoh yang tak pernah luput dari mengintip status terakhir online-mu tanpa berani memulai obrolan. Tahu perihal kabarmu ku dapat dari status media sosialmu. Kini, teruslah perbarui status di akun media sosialmu setiap hari meskipun hanya sekali agar aku tahu kau baik-baik saja. Mungkin ini lebih baik.
Mei benar-benar berubah suram, aku tetap memilih memelihara harapan ditengah gurun pasrah yang gersang, berharap keajaiban untuk tumbuh. Kamu teguh pendirian, berhenti pada pasrah.
Ketika kenyataan tidak sesuai harapan, kita bisa mengangkat tangan untuk menyerah atau mengangkat tangan untuk berdoa, ku harap kamu memilih yang kedua seperti yang sudah kulakukan, karena itulah kenapa disetiap doa ada semoga.
Setelahnya hari-hariku disibukan dengan membaca banyak ucapan selamat ulangtahun sampai senja menghantarkanku pada malam yang dingin. Semua terlihat biasa-biasa saja hingga kamu datang, sesuatu yang diluar dugaan, bagaimana mungkin kamu datang saat hari pertama puasa?ini benar-benar kejutan dan juga menimbulkan banyak pertanyaan dalam benakku, karena ku tahu akan sangat sulit mendapatkan ijin untuk kesini, tapi kamu mendapatkannya.
Kamu muncul dari balik gelap, bercahaya layaknya bidadariku yang pernah menaklukkan senja hingga semesta terkagum-kagum. Hatiku hancur berkeping tak karuan, entah harus menangis atau tertawa aku tak bisa berbuat banyak.
Aku tak tahu kenapa kamu datang setelah semua yang terjadi? Apakah ini hanya sebuah usaha balas Budi agar kamu bisa pergi tanpa merasa hutang Budi? Ataukah kamu menukarkan ijin bertemu denganku malam ini dengan kesepakatan perpisahan? Maafkan aku yang terlalu jahat hingga berpikir begitu jauh. Aku hanya takut jika dibalik datangmu ini, ada "selamat tinggal" yang kau sembunyikan dalam senyummu. Entahlah aku benci memikirkannya. Yang jelas aku bahagia bisa melihat senyum yang lama kurindukan, mata yang lama tak ku pandangi, wajah yang lama hilang dari hari-hariku.
Terima kasih untuk warna yang kau lukiskan begitu indah di bulan ini, setidaknya aku bisa kembali merasakan hidup yang benar-benar hidup, walau hanya sebentar.
Semua begitu cepat berlalu, melesat bagai peluru, malam semakin larut, pamit pun tak terhindarkan, untuk pertama kalinya setelah lalui bulan penuh luka, semesta memberikanku kado terindah, mengantarmu pulang. Aku merindukan masa ini, masa dimana kita pulang bersama, lewati jalanan tanpa bicara tapi saling memastikan kita baik-baik saja, kamu yang melirikku melalui spion motormu, sementara aku yang berada satu meter dibelakang terus mengikutimu sembari tak henti berdoa semoga kelak "ayok kakak antar" berubah menjadi "mari kita pulang". Iya semoga kelak kita sama-sama pulang kerumah yang sama.
Jalanan belasan kilometer pun tidak terasa, aku harus kehilanganmu di pertigaan jalan, kita berpisah. Aku kembali dengan senyuman terindahku, bahagiaku luar biasa. Malam yang indah.
Hari berganti, senyum semalam masih tak terganti, ada sisa bahagia yang tak ingin beranjak pergi, aku masih berkubang dalam euforia kemenanganku atas luka yang diciptakan sendiri.
Semua berjalan normal, komunikasi tetap terjaga meskipun tidak intens. Aku tidak masalah, aku tidak apa-apa tidak sedekat dulu, tidak apa-apa tidak sebanyak dulu pesan masuk darimu, kini satu saja pesan darimu itu akan sangat berarti bagiku.
Naas memasuki pertengahan bulan, semua kembali suram, kamu kembali menjadi sosok dingin yang menawarkan pertemanan, sementara aku masih terbakar api cinta yang membara menolak tawaran baik itu hingga kita berujung senyam. Tidak ada kabar meskipun rindu, tidak ada cerita meskipun banyak hal yang ingin terbagikan.
Berbeda dengan Kamu yang sudah terbiasa dengan semua ini meskipun menahan sakit tetap tersenyum bahagia, aku menjadi manusia bodoh yang tak pernah luput dari mengintip status terakhir online-mu tanpa berani memulai obrolan. Tahu perihal kabarmu ku dapat dari status media sosialmu. Kini, teruslah perbarui status di akun media sosialmu setiap hari meskipun hanya sekali agar aku tahu kau baik-baik saja. Mungkin ini lebih baik.
Mei benar-benar berubah suram, aku tetap memilih memelihara harapan ditengah gurun pasrah yang gersang, berharap keajaiban untuk tumbuh. Kamu teguh pendirian, berhenti pada pasrah.
Ketika kenyataan tidak sesuai harapan, kita bisa mengangkat tangan untuk menyerah atau mengangkat tangan untuk berdoa, ku harap kamu memilih yang kedua seperti yang sudah kulakukan, karena itulah kenapa disetiap doa ada semoga.
0 Comments